Senin, 23 November 2015

Karena Tuhan

Darimana kamu bisa menjawab semua pertanyaan tanpa belajar?
Intuisi.
Darimana kamu bisa membaca pikiran orang lain?
Intuisi.
Darimana kamu bisa mengetahui tanpa diberi tahu?
Intuisi.
Darimana kamu bisa mendapatkan intuisi?
Tuhan.
Karena Tuhan lebih Tinggi dari apapun juga.

Darimana kamu bisa bermain musik dengan sempurna?
Latihan.
Darimana kamu bisa bernyanyi dengan merdu?
Latihan.
Darimana kamu bisa menjadi debator ulung?
Latihan.
Darimana kamu bisa mendapatkan latihan?
Tuhan.
Karena Tuhan sumber dari segala ilmu manapun juga.

Apapun yang saya dapatkan, miliki, dan lakukan adalah karena Tuhan, dan pasti karena Tuhan.

Kamis, 19 November 2015

Mengerti dan Memaklumi

Agustus, 2014
Pada siang itu...
Ketika kita duduk berdua beralas tikar sewaan seharga dua puluh lima ribu rupiah
Ketika hatiku terpaut dalam dersik yang angin pantai ini sampaikan,
tiba-tiba kau mengatakan bahwa banyak jalinan cinta penuh ketidaksukaan yang selalu ditutupi
Mereka menutupi hal-hal yang tidak disukai demi apa yang pasangannya sukai
“Kecuali kamu,” ujarmu,
sebelum akhirnya kamu menutup erat bibir manis itu dan hanya memandang kosong ke arah bibir pantai yang mulai pasang
“Buat aku,” katamu melanjutkan.
dalam menjalin cinta bukanlah melulu soal apa yang harus pasangan kita sukai
tapi justru tentang saling mengerti dan maklumi dengan hati, dengan tulus...
mengerti bahwa ada seseorang yang memilikimu,
pun memaklumi ada seseorang yang mengkhawatirkanmu.
Mengerti ada seseorang yang harus kau jaga hatinya,
pula memaklumi ada seseorang yang ingin waktumu.
“Makanya, aku selalu sayang kamu! Sayang sama hubungan kita.”
Kemudian aku bertanya, “maksudnya?”
Kamu diam.
Lalu aku meninggikan nadaku, “maksudnya apa?!”
Kamu menoleh ke arahku, tersenyum.
“Aku sayang sama kamu bukan karena kamu mengerti dan memaklumi aku, tapi aku sayang sama kamu karena kita sama-sama ngebangun hubungan kita dengan dinding mengerti dan memaklumi. Dan yang paling penting, kamu mengerti dan memaklumi dengan tetap menjadi dirimu sendiri…” pungkasmu menggenggam tanganku.

Kamis, 12 November 2015

Bila Kamu Bertanya

Bila kamu bertanya, apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi?
Sayang, aku tidak pernah ingin menanggalkan kamu dari hidupku
Bagiku yang tak pernah bisa merasa sempurna, kehadiranmu justru merupakan kesempurnaan
Kamulah yang membangun kelemahan dalam diriku dan mengubahnya menjadi kekuatan

Bila kamu bertanya, mengapa aku tidak mendengar kata I love you lagi?
Sesungguhnya kamu tidak perlu mempertanyakannya
Karena aku tidak pernah lupa mengatakannya,
Entah dalam ketidak terdengaranmu, maupun ketidaksadaran kamu, Sayangku
Aku selalu mengatakannya, Sayang, sungguh…

Kei, Sayangku, hingga kapanpun aku tidak mau menjadi orang yang berbeda buatmu
Aku akan tetap ada dan akan tetap sama:
Mencintai kamu dalam keadaan apapun untuk membuat kamu bahagia.

Jumat, 21 Agustus 2015

Mereka (yang) Patah Hati



Ketika air mata terus mendesak, masih sanggup, kah, hati menahannya?
Ketika sesak itu membuncah, masih bisa, kah, detak jantung berdetak seperti biasanya?
Ketika ringkih itu terasa, masih ada, kah, tawa yang akan keluar?
Kesedihan tidak pernah terasa mudah

            Jemari mungkin masih bisa bergerak, tetapi jiwa? Kosong...
            Mata mungkin masih bisa menatap, tetapi pancarannya? Remang...
            Mulut mungkin masih bisa bernyanyi, tetapi nadanya? Sumbang...
            Menahan kesedihan itu susah

Jangan tanya kenapa masih ada matahari di balik turunnya hujan
Jangan tanya pula kenapa masih ada air di balik tandusnya padang pasir
Dan jangan tanya kenapa masih ada udara di balik pengapnya tanah
Karena tidak akan pernah ada sepatah kata yang keluar dari mereka yang patah hati
           
            Mereka yang patah hati hanya tahu perih
            Mereka yang patah hati hanya tahu sepi
            Mereka tidak pernah tahu apa itu tertawa
            Atau bahkan yang namanya bahagia 

                                    Harapan tentang yang terakhir
                                    Ternyata mesti berakhir
                                    Ia tetap tak bisa berujung seperti air
                                    Yang hanya tau mengalir

...hanya satu kata yang jadi jawaban bagi mereka yang terluka (sekalipun tak menghibur), takdir pasti hadir...

Minggu, 07 Juni 2015

(Menuju) Hari 2: Pahit

Ada apa dengan saya? (Kenapa harus begini? –red)

            Hari ini saya belajar tentang satu hal; saat kamu merasakan bahwa pahitnya telah selesai, justru kamu sedang menunggu pahit berikutnya untuk menyusul.

            Entah apa yang harus saya katakan. Saya hanya butuh seseorang untuk besok. Iya, untuk bertemu si tua kemarin, dan berusaha mematahkan vonis yang dia berikan. Saya masih punya kesempatan, saya percaya itu.

            Malam ini, saya sudah kehilangan lima tahun. Dan besok, apa saya akan mendengarkan ujarnya untuk kehilangan segalanya?

            Pahit. Sangat pahit.


            Somebody help me, please!

Selasa, 02 Juni 2015

Hari 1: Vonis

            Sore tadi, dengan tubuh yang sudah begitu layu saya terpaksa harus melangkah ke gedung hijau ‘itu’. Sebuah gedung penuh manusia berjas putih dengan raut wajah yang menakutkan, mengerikan, dan pula menyeramkan.

Apa yang saya lakukan?

            Niat awalnya hanya berkunjung. Akan tetapi, lelaki paruh baya berjas putih yang saya temui itu justru memvonis saya dengan telak. Kaget. Sekaligus menciutkan. Kata-katanya begitu menjatuhkan mental.



“Kenapa saat semuanya begitu manis, tanpa permisi pahit justru datang dengan cepat kemudian?” 

Kamis, 26 Maret 2015

Ayah adalah Ayah

Sehebat apapun seorang Ayah di mata orang lain,
bagi anaknya dia tetap seorang Ayah.

Setinggi apapun pangkat seorang Ayah,
bagi anaknya dia tetap seorang Ayah.

Sestrategis apapun jabatan seorang Ayah,
bagi anaknya dia tetap seorang Ayah.

Sepenting apapun seorang Ayah dalam masyarakat,
bagi anaknya dia tetap seorang Ayah.

Karena bagi anaknya,
Ayah adalah Ayah baginya.

Rabu, 25 Maret 2015

Nuansa Lelah

Pertanyaan:

Sebagai wanita, jika kamu merasa berjuang sendirian dalam sebuah hubungan dan tiba-tiba ada lelaki baru yang bisa mengerti kamu dan bisa membuat kamu lebih bahagia ketimbang terus-terusan berusaha mengerti pasangan kamu, kamu akan pilih mana?

Jawaban:

a. Memilih pasangannya, namun soal perasaan terhadap lelaki baru tersebut, ya, mengalir saja: apa akan terus tumbuh atau justru berhenti begitu saja. Ketika pasangannya masih saja melukai, dan wanita ini akhirnya berada pada satu titik jenuh atau merasa lelah menghadapi semuanya, wanita ini memilih untuk berhenti dan memulai hubungan dengan lelaki baru tadi. Karena lelaki tersebut sudah cukup dikenalnya.

b. Memilih pasangannya, karena suatu saat nanti pasti si pasangannya akan luluh terhadap sikap wanita yang berjuang sendirian tadi. Namun tetap saja, setiap orang punya waktu lelahnya, bisa saja si wanita tadi memilih berhenti dan memilih lelaki baru atau justru tidak keduanya.

c. Memilih lelaki baru, karena toh lelaki baru itu lebih mengerti si wanita ketimbang pasangannya. Daripada nanti malah semakin merasa sakit harus menahan lelah terus-menerus, lebih baik berhenti dan memilih orang yang lebih terbaik.

Dari survey kecil-kecilan terhadap beberapa wanita, secara garis besar ketiga jawaban ini adalah perwakilan jawaban beragam para wanita dalam menyikapi pertanyaan di atas. Memang, terkadang masalah hati tidak akan pernah bisa untuk dipetakan. Tetapi, tujuan survey ini sebatas untuk melihat gambaran, sebenarnya apa yang memengaruhi terjadinya perselingkuhan yang akhir-akhir ini lebih banyak dilakukan oleh wanita.

Jika dilihat secara seksama, ketiganya tanpa sengaja memiliki satu inti, yaitu lelah. Entah itu lelah mengerti pasangan, atau si pasangan yang cuek ini lelah bersikap seperti itu terhadap wanita yang berjuang sendirian, atau bisa jadi lelah menyikapi kegalauan antara memilih yang tiba-tiba datang dan begitu memesona dengan yang telah menemani kita tetapi sikapnya sangat berubah.

Kata lelah ini menjadi acuan berlangsungnya dalam sebuah hubungan. Siapa yang dalam sebuah hubungan merasa lelah, maka dia akan berhenti dari hubungan tersebut. Indeed, dimanapun dan di dalam situasi atau lingkungan apapun kita pasti akan merasa lelah. Maka jawaban dari pertanyaan tersebut pilihannya adalah: memilih menyerah karena sudah lelah, atau memilih menguat karena tidak ingin terus lelah.

Mari kita kembali ke inti pertanyaan awal, kamu akan piilih yang mana?

Minggu, 22 Maret 2015

Perekat

            Dalam pernikahan, banyak pasangan yang memutuskan untuk berpisah karena alasan orang ketiga, ketidakcocokan, dan ada juga karena kekerasan dalam rumah tangga. Indeed, itu semua datang karena ketidakmampuan pasangan-pasangan tersebut untuk menyegarkan cinta, merekatkan hati, dan memelihara percaya.

            Pada dasarnya, permasalahan pernikahan hadir karena problem-problem dalam pernikahan itu sendiri, seperti hilangnya rasa percaya—yang sejalan dengan hilangnya tanggung jawab, hilangnya rasa cinta—yang sejalan dengan perasaan asing satu sama lain, atau tidak dimilikinya ramuan perekat antara suami dan istri. Mungkin yang terakhir adalah alasan paling berpengaruh atas semuanya.

            Berbicara mengenai ramuan perekat, setiap pasangan sejatinya memiliki ramuan perekat yang berbeda satu sama lain. Entah itu kebiasaan suami mengecup sang istri ketika hendak dan selepas bangun tidur, kebiasaan melempar senyum dan sapaan di pagi hari, kebiasaan mengucapkan ‘aku cinta kamu’, kebiasaan mengutarakan rasa terima kasih atas kehadiran pasangannya, atau hal-hal lainnya yang merekatkan suami dan juga istri. Perekat ini, adalah benteng dari kehilangan kepercayaan, kehilangan tanggung jawab, kehilangan rasa cinta, dan juga kehilangan rasa intim antara satu dengan yang lain.

            Jika para pasangan yang berniat untuk menikah merasa belum punya perekat hubungannya, temukanlah segera! 

Sabtu, 21 Maret 2015

Panggilan

Selamat pagi, panggilan.

            Kamu datang terlalu cepat hari ini. Terlalu cepat untuk hari yang harusnya penuh warna-warni. Hari yang aku seharusnya bisa kuat untuk berlari ceria dalam naungan mentari. Namun, kedatanganmu justru membuat aku bahkan tak bisa berdiri. Aku hanya bisa berbaring menangis dan meratapi. Kenapa?! Kenapa?! Kenapa harus pergi secepat ini?! Tanyaku sudah tidak bisa lagi berhenti. Biarlah. Biarlah dia mulai mencekik urat nadi ini. Toh, aku memang berhak ditawan dengan cara seperti ini. Tidak ada gunanya juga aku melawan paksa panggilan ini.

            Panggilan memang tidak bisa dihentikan. Pula tidak bisa dilawan. Atau bahkan dialihkan. Namun, jika boleh aku bercerita: aku belum siap menerima kehampaan. Aku masih ingin menikmati setiap sudut keceriaan. Berlarian, berkejaran, kemana pun kaki dilangkahkan. Berkumpul dalam tawa yang saling bersahutan. Semuanya, setiap guratan yang ditorehkan, masih aku inginkan. Tapi, panggilan tetap panggilan. Ketika dia terucap, siapapun harus siap. Termasuk, aku.

Rabu, 18 Maret 2015

Cerita Pada Malam

Selamat malam, pemilik hati yang hanya bisa meratapi cintanya yang telah pergi.

Malam ini aku ingin bercerita, bercerita tentang sekuntum kenangan, yang tiba-tiba terlepas dari dahan. Tentang sesuap memori pelukan, yang berhenti seketika di tenggorokan. Tentang secarik halaman, yang tulisannya terhenti di tengah jalan. Pula tentang sesungging senyuman, yang kini hilang di pangkuan pelaminan.

Suatu hari, sendirian, aku menelusuri pagi dengan kecewa yang bersanding sepi. Berjalan di tengah kabut asap dari api yang ternyata mengepul dari hatiku sendiri. Mengusap tetesan air yang mengalir deras di pipi. Pedih, ketika aku harus melangkahkan kaki ke tempat kamu diikat lelaki lain dalam sebuah janji suci.

Begitu berat. Terlebih lagi, mulai kini aku akan kehilangan seseorang yang selalu mengkhawatirkan keadaanku ketika aku jauh. Bibirku juga tidak akan pernah lagi melafalkan kata rindu, kata yang sejak sepuluh tahun lalu menguntit antara aku dan kamu. Huh, apalah arti sebuah kesetiaan untuk membahagiakan, jika pada akhirnya kenyataan tidak bisa menyatukan cinta yang berlainan keyakinan.

Di jalan setapak ini, aku hanya bisa memegang erat undangan pesta semalaman yang akan kamu langsungkan. Sebuah perayaan untuk dimulainya kehidupan. Suatu kesaksian atas sebuah kebahagiaan. Tentu, kehidupan dan kebahagiaan yang tidak ada aku di dalamnya. Sakit. Teramat sakit, ketika aku dipaksa melihat singgasana yang pernah kita damba ternyata justru menjadi milikmu dan dia.

Sudahlah. Aku hanya bisa berdoa, semoga aku kuat menyalami kalian yang berdiri berdampingan, bak putri dan pangeran.




p.s.: tulisan ini tertuju untuk kalian yang menyatakan cintanya pada dia yang hanya menjawab dengan diam. Diam…diam…diam-diam nikah sama orang lain. Sakit, ya? Iya!

Senin, 16 Maret 2015

Terima Kasih, Istriku!

Istri adalah wanita terhebat yang diciptakan Tuhan untuk seorang suami. Dalam kehidupan keluarga, memang suami adalah kepala keluarga. Namun, bukan berarti kedudukan istri dalam keluarga tidak memiliki tempat yang penting. Belum lagi untuk urusan dengan anak-anak, seorang istri terkadang jauh lebih punya peran dibandingkan dengan suami. Sebagai kepala keluarga, seorang suami biasanya lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Sehingga otomatis, istri yang mengurusi keperluan anak: entah itu makanan, pakaian, atau pun bedak dan lotion. Para istri yang lebih tahu urusan tetek anak-anak. Sementara yang seorang suami tahuhanyaanak-anak sehat, dan terawat.

Kadang, seorang suami hanya akan bertanya, ‘Kamu sudah bawa anak kita ke Posyandu?’. ‘Sudah,’ jawab si istri. ‘Anak kita sudah makan?’ atau ‘berat anak kita sekarang berapa?’. Hanya sampai di situ. Hanya melempar sebuah pertanyaan, tanpa ada terima kasih yang terucap. Itu yang sering terjadi, suami-suami sering melewatkan inti maksud pertanyaan yangmungkinsepele untuk berterima kasih terhadap istrinya. Padahal jika dipahami, ketika para istri sudah mengimunisasi anak dan berhasil membuat berat badan anaknya naiksebagai bukti tumbuh kembang anak yang sangat baik. Itu tandanya istri did an excellent job! Mengapa kita tidak berterima kasih?

Dari hal sekecil kesehatan anak, kita bisa menangkap bahwasanya seorang istri sebagai Ibu dari buah hati kita adalah perempuan hebat yang jarang suami hargai. Memang perempuan mempunyai naluri keibuan yang sangat kental dalam merawat anak-anak. Pun, hal tersebut adalah tugasnya sebagai seorang Ibu. Tetapi, jika istri-istri melakukannya dengan baik, sepenuh cinta, sehingga anak-anak tetap sehat dan tidak kekurangan sesuatu apapun, bukankah para istri ini sudah sangat membantu dan meringankan beban suami? Bayangkan jika para istri tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik dalam merawat anak. Lupa membawa anak imunisasi. Berat badan anak berkurang. Anak-anak kita sakit. Bayangkan, akan berapa banyak biaya dan waktu yang mesti dikeluarkan seorang suami? Bayangkan, akan berapa banyak cuti yang kita ambil? Imbasnya, bayangkan, akan berapa banyak kita kehilangan penghasilan untuk membiayai pengobatan dan mengganti cuti yang ktia ambil?

Maka, berterimakasihlah kepada para istri, atas perannya dalam menjaga dan merawat anak-anak kita: karena telah membuat anak-anak kita terawat, juga karena telah membuat anak-anak kita sehat. Terima kasih, istriku!



p.s.: tulisan ini sebagai wujud rasa terima kasih atas dedikasi para istri yang tanpa lelah meringankan beban suami-suami.

Sabtu, 14 Maret 2015

Aku Masih dan Kamu Begitu Mudah

Siang terasa begitu terik, bak memaksa rindu menguap pada setiap hitungan detik. Menggerogoti tanya yang berlarian dan memencar menegaskan janji yang ingkar. Kamu memang tahu semua sudah berbeda, tapi tidak denganku. Aku masih merasa tanganmu bisa kugenggam kemana pun aku dan kamu berjalan. Aku masih merasa setiap kerongkonganmu mengalirkan mantra-mantra kesetiaan. Ya, aku lupa, sudah tidak ada lagi sepiring menu cinta yang kau sajikan untuk kumakan.

Sore ini, tolong biarkan aku berkencan dengan ingatan. Untuk sekedar menyicipi hangatnya senja dan memutar tingkahmu yang manja. Meneguk takdir yang teramat pahit. Dan mengunyah harapan tentangmu yang tak tertelan. Begitu miris, sangat mudahnya kamu biarkan semangkuk cinta yang tulus terlambat disantap. Teramat mudahnya kamu biarkan dingin merayap hanya lewat lantunan maaf. Ya, begitu mudah kamu biarkan luka menyayat nadi yang mengalirkan namamu tanpa henti.




p.s.: sorry, lukaku belum sembuh.

Selasa, 10 Maret 2015

Sejumput Kesal

Sejumput kesal…
Kamu datang lagi setelah menghukumku dalam sedih
Setelah menamparku dengan ucapan, ‘maaf aku sudah tidak bisa lagi’
Setelah aku dipaksa menghirup asap dari hatiku yang terbakar perih

Sejumput kesal…
Kamu kira, aku sudah lupa caramu meninggalkanku dalam bisu?
Ketika kamu menyuruhku menghentikan candu rindu
Ketika hasrat memelukmu harus diubah jadi kerelaan melepasmu

Sejumput kesal…
Ketika aku patah, kamu justru merona seolah lupa seperti apa kita
Tertawa bak bayangan kita hanya rintihanku saja
Ya, aku yang duka dipaksa hampa

Sejumput kesal…
Biar kuberitahu, tidak ada cemburu yang bisa begitu saja mati
Tak ada juga dendam yang terpapas dengan pasti
Apalagi ketika mendambamu sudah kukubur rapi

Sejumput kesal…
Doa-doa kita sudah kubiaskan dengan lara
Kupisahkan satu-persatu sampai akhirnya aku bisa melupakannya
Hidupku sudah melantun penuh irama

Sejumput kesal…
Jangan suguhi aku haru tentang masa laluku denganmu
Jangan buat aku berkontemplasi untuk menerimamu
Ini aku yang baru! Sudah bahagia tanpamu

Sejumput kesal…
Simpan saja sesal dan juga rindu yang sedang kamu rasa
Bubuhkan dalam nadimu, bahwa aku sudah biasa saja
Camkan di hatimu, jangan lagi rindu aku, ya!