Selamat malam, pemilik hati yang hanya bisa meratapi
cintanya yang telah pergi.
Malam ini aku
ingin bercerita, bercerita tentang sekuntum kenangan, yang tiba-tiba terlepas
dari dahan. Tentang sesuap memori pelukan, yang berhenti seketika di
tenggorokan. Tentang secarik halaman, yang tulisannya terhenti di tengah jalan.
Pula tentang sesungging senyuman, yang kini hilang di pangkuan pelaminan.
Suatu hari,
sendirian, aku menelusuri pagi dengan kecewa yang bersanding sepi. Berjalan di tengah
kabut asap dari api yang ternyata mengepul dari hatiku sendiri. Mengusap
tetesan air yang mengalir deras di pipi. Pedih,
ketika aku harus melangkahkan kaki ke tempat kamu diikat lelaki lain dalam
sebuah janji suci.
Begitu berat.
Terlebih lagi, mulai kini aku akan kehilangan seseorang yang selalu
mengkhawatirkan keadaanku ketika aku jauh. Bibirku juga tidak akan pernah lagi
melafalkan kata rindu, kata yang sejak sepuluh tahun lalu menguntit antara aku
dan kamu. Huh, apalah arti sebuah kesetiaan untuk membahagiakan, jika pada akhirnya
kenyataan tidak bisa menyatukan cinta yang berlainan keyakinan.
Di jalan
setapak ini, aku hanya bisa memegang erat undangan pesta semalaman yang akan
kamu langsungkan. Sebuah perayaan untuk dimulainya kehidupan. Suatu kesaksian
atas sebuah kebahagiaan. Tentu, kehidupan dan kebahagiaan yang tidak ada aku di
dalamnya. Sakit. Teramat sakit, ketika aku dipaksa melihat singgasana yang
pernah kita damba ternyata justru menjadi milikmu dan dia.
Sudahlah. Aku hanya bisa berdoa, semoga
aku kuat menyalami kalian yang berdiri berdampingan, bak putri dan pangeran.
p.s.: tulisan ini tertuju untuk kalian yang
menyatakan cintanya pada dia yang hanya menjawab dengan diam. Diam…diam…diam-diam
nikah sama orang lain. Sakit, ya? Iya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar