Kamis, 26 Maret 2015

Ayah adalah Ayah

Sehebat apapun seorang Ayah di mata orang lain,
bagi anaknya dia tetap seorang Ayah.

Setinggi apapun pangkat seorang Ayah,
bagi anaknya dia tetap seorang Ayah.

Sestrategis apapun jabatan seorang Ayah,
bagi anaknya dia tetap seorang Ayah.

Sepenting apapun seorang Ayah dalam masyarakat,
bagi anaknya dia tetap seorang Ayah.

Karena bagi anaknya,
Ayah adalah Ayah baginya.

Rabu, 25 Maret 2015

Nuansa Lelah

Pertanyaan:

Sebagai wanita, jika kamu merasa berjuang sendirian dalam sebuah hubungan dan tiba-tiba ada lelaki baru yang bisa mengerti kamu dan bisa membuat kamu lebih bahagia ketimbang terus-terusan berusaha mengerti pasangan kamu, kamu akan pilih mana?

Jawaban:

a. Memilih pasangannya, namun soal perasaan terhadap lelaki baru tersebut, ya, mengalir saja: apa akan terus tumbuh atau justru berhenti begitu saja. Ketika pasangannya masih saja melukai, dan wanita ini akhirnya berada pada satu titik jenuh atau merasa lelah menghadapi semuanya, wanita ini memilih untuk berhenti dan memulai hubungan dengan lelaki baru tadi. Karena lelaki tersebut sudah cukup dikenalnya.

b. Memilih pasangannya, karena suatu saat nanti pasti si pasangannya akan luluh terhadap sikap wanita yang berjuang sendirian tadi. Namun tetap saja, setiap orang punya waktu lelahnya, bisa saja si wanita tadi memilih berhenti dan memilih lelaki baru atau justru tidak keduanya.

c. Memilih lelaki baru, karena toh lelaki baru itu lebih mengerti si wanita ketimbang pasangannya. Daripada nanti malah semakin merasa sakit harus menahan lelah terus-menerus, lebih baik berhenti dan memilih orang yang lebih terbaik.

Dari survey kecil-kecilan terhadap beberapa wanita, secara garis besar ketiga jawaban ini adalah perwakilan jawaban beragam para wanita dalam menyikapi pertanyaan di atas. Memang, terkadang masalah hati tidak akan pernah bisa untuk dipetakan. Tetapi, tujuan survey ini sebatas untuk melihat gambaran, sebenarnya apa yang memengaruhi terjadinya perselingkuhan yang akhir-akhir ini lebih banyak dilakukan oleh wanita.

Jika dilihat secara seksama, ketiganya tanpa sengaja memiliki satu inti, yaitu lelah. Entah itu lelah mengerti pasangan, atau si pasangan yang cuek ini lelah bersikap seperti itu terhadap wanita yang berjuang sendirian, atau bisa jadi lelah menyikapi kegalauan antara memilih yang tiba-tiba datang dan begitu memesona dengan yang telah menemani kita tetapi sikapnya sangat berubah.

Kata lelah ini menjadi acuan berlangsungnya dalam sebuah hubungan. Siapa yang dalam sebuah hubungan merasa lelah, maka dia akan berhenti dari hubungan tersebut. Indeed, dimanapun dan di dalam situasi atau lingkungan apapun kita pasti akan merasa lelah. Maka jawaban dari pertanyaan tersebut pilihannya adalah: memilih menyerah karena sudah lelah, atau memilih menguat karena tidak ingin terus lelah.

Mari kita kembali ke inti pertanyaan awal, kamu akan piilih yang mana?

Minggu, 22 Maret 2015

Perekat

            Dalam pernikahan, banyak pasangan yang memutuskan untuk berpisah karena alasan orang ketiga, ketidakcocokan, dan ada juga karena kekerasan dalam rumah tangga. Indeed, itu semua datang karena ketidakmampuan pasangan-pasangan tersebut untuk menyegarkan cinta, merekatkan hati, dan memelihara percaya.

            Pada dasarnya, permasalahan pernikahan hadir karena problem-problem dalam pernikahan itu sendiri, seperti hilangnya rasa percaya—yang sejalan dengan hilangnya tanggung jawab, hilangnya rasa cinta—yang sejalan dengan perasaan asing satu sama lain, atau tidak dimilikinya ramuan perekat antara suami dan istri. Mungkin yang terakhir adalah alasan paling berpengaruh atas semuanya.

            Berbicara mengenai ramuan perekat, setiap pasangan sejatinya memiliki ramuan perekat yang berbeda satu sama lain. Entah itu kebiasaan suami mengecup sang istri ketika hendak dan selepas bangun tidur, kebiasaan melempar senyum dan sapaan di pagi hari, kebiasaan mengucapkan ‘aku cinta kamu’, kebiasaan mengutarakan rasa terima kasih atas kehadiran pasangannya, atau hal-hal lainnya yang merekatkan suami dan juga istri. Perekat ini, adalah benteng dari kehilangan kepercayaan, kehilangan tanggung jawab, kehilangan rasa cinta, dan juga kehilangan rasa intim antara satu dengan yang lain.

            Jika para pasangan yang berniat untuk menikah merasa belum punya perekat hubungannya, temukanlah segera! 

Sabtu, 21 Maret 2015

Panggilan

Selamat pagi, panggilan.

            Kamu datang terlalu cepat hari ini. Terlalu cepat untuk hari yang harusnya penuh warna-warni. Hari yang aku seharusnya bisa kuat untuk berlari ceria dalam naungan mentari. Namun, kedatanganmu justru membuat aku bahkan tak bisa berdiri. Aku hanya bisa berbaring menangis dan meratapi. Kenapa?! Kenapa?! Kenapa harus pergi secepat ini?! Tanyaku sudah tidak bisa lagi berhenti. Biarlah. Biarlah dia mulai mencekik urat nadi ini. Toh, aku memang berhak ditawan dengan cara seperti ini. Tidak ada gunanya juga aku melawan paksa panggilan ini.

            Panggilan memang tidak bisa dihentikan. Pula tidak bisa dilawan. Atau bahkan dialihkan. Namun, jika boleh aku bercerita: aku belum siap menerima kehampaan. Aku masih ingin menikmati setiap sudut keceriaan. Berlarian, berkejaran, kemana pun kaki dilangkahkan. Berkumpul dalam tawa yang saling bersahutan. Semuanya, setiap guratan yang ditorehkan, masih aku inginkan. Tapi, panggilan tetap panggilan. Ketika dia terucap, siapapun harus siap. Termasuk, aku.

Rabu, 18 Maret 2015

Cerita Pada Malam

Selamat malam, pemilik hati yang hanya bisa meratapi cintanya yang telah pergi.

Malam ini aku ingin bercerita, bercerita tentang sekuntum kenangan, yang tiba-tiba terlepas dari dahan. Tentang sesuap memori pelukan, yang berhenti seketika di tenggorokan. Tentang secarik halaman, yang tulisannya terhenti di tengah jalan. Pula tentang sesungging senyuman, yang kini hilang di pangkuan pelaminan.

Suatu hari, sendirian, aku menelusuri pagi dengan kecewa yang bersanding sepi. Berjalan di tengah kabut asap dari api yang ternyata mengepul dari hatiku sendiri. Mengusap tetesan air yang mengalir deras di pipi. Pedih, ketika aku harus melangkahkan kaki ke tempat kamu diikat lelaki lain dalam sebuah janji suci.

Begitu berat. Terlebih lagi, mulai kini aku akan kehilangan seseorang yang selalu mengkhawatirkan keadaanku ketika aku jauh. Bibirku juga tidak akan pernah lagi melafalkan kata rindu, kata yang sejak sepuluh tahun lalu menguntit antara aku dan kamu. Huh, apalah arti sebuah kesetiaan untuk membahagiakan, jika pada akhirnya kenyataan tidak bisa menyatukan cinta yang berlainan keyakinan.

Di jalan setapak ini, aku hanya bisa memegang erat undangan pesta semalaman yang akan kamu langsungkan. Sebuah perayaan untuk dimulainya kehidupan. Suatu kesaksian atas sebuah kebahagiaan. Tentu, kehidupan dan kebahagiaan yang tidak ada aku di dalamnya. Sakit. Teramat sakit, ketika aku dipaksa melihat singgasana yang pernah kita damba ternyata justru menjadi milikmu dan dia.

Sudahlah. Aku hanya bisa berdoa, semoga aku kuat menyalami kalian yang berdiri berdampingan, bak putri dan pangeran.




p.s.: tulisan ini tertuju untuk kalian yang menyatakan cintanya pada dia yang hanya menjawab dengan diam. Diam…diam…diam-diam nikah sama orang lain. Sakit, ya? Iya!

Senin, 16 Maret 2015

Terima Kasih, Istriku!

Istri adalah wanita terhebat yang diciptakan Tuhan untuk seorang suami. Dalam kehidupan keluarga, memang suami adalah kepala keluarga. Namun, bukan berarti kedudukan istri dalam keluarga tidak memiliki tempat yang penting. Belum lagi untuk urusan dengan anak-anak, seorang istri terkadang jauh lebih punya peran dibandingkan dengan suami. Sebagai kepala keluarga, seorang suami biasanya lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Sehingga otomatis, istri yang mengurusi keperluan anak: entah itu makanan, pakaian, atau pun bedak dan lotion. Para istri yang lebih tahu urusan tetek anak-anak. Sementara yang seorang suami tahuhanyaanak-anak sehat, dan terawat.

Kadang, seorang suami hanya akan bertanya, ‘Kamu sudah bawa anak kita ke Posyandu?’. ‘Sudah,’ jawab si istri. ‘Anak kita sudah makan?’ atau ‘berat anak kita sekarang berapa?’. Hanya sampai di situ. Hanya melempar sebuah pertanyaan, tanpa ada terima kasih yang terucap. Itu yang sering terjadi, suami-suami sering melewatkan inti maksud pertanyaan yangmungkinsepele untuk berterima kasih terhadap istrinya. Padahal jika dipahami, ketika para istri sudah mengimunisasi anak dan berhasil membuat berat badan anaknya naiksebagai bukti tumbuh kembang anak yang sangat baik. Itu tandanya istri did an excellent job! Mengapa kita tidak berterima kasih?

Dari hal sekecil kesehatan anak, kita bisa menangkap bahwasanya seorang istri sebagai Ibu dari buah hati kita adalah perempuan hebat yang jarang suami hargai. Memang perempuan mempunyai naluri keibuan yang sangat kental dalam merawat anak-anak. Pun, hal tersebut adalah tugasnya sebagai seorang Ibu. Tetapi, jika istri-istri melakukannya dengan baik, sepenuh cinta, sehingga anak-anak tetap sehat dan tidak kekurangan sesuatu apapun, bukankah para istri ini sudah sangat membantu dan meringankan beban suami? Bayangkan jika para istri tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik dalam merawat anak. Lupa membawa anak imunisasi. Berat badan anak berkurang. Anak-anak kita sakit. Bayangkan, akan berapa banyak biaya dan waktu yang mesti dikeluarkan seorang suami? Bayangkan, akan berapa banyak cuti yang kita ambil? Imbasnya, bayangkan, akan berapa banyak kita kehilangan penghasilan untuk membiayai pengobatan dan mengganti cuti yang ktia ambil?

Maka, berterimakasihlah kepada para istri, atas perannya dalam menjaga dan merawat anak-anak kita: karena telah membuat anak-anak kita terawat, juga karena telah membuat anak-anak kita sehat. Terima kasih, istriku!



p.s.: tulisan ini sebagai wujud rasa terima kasih atas dedikasi para istri yang tanpa lelah meringankan beban suami-suami.

Sabtu, 14 Maret 2015

Aku Masih dan Kamu Begitu Mudah

Siang terasa begitu terik, bak memaksa rindu menguap pada setiap hitungan detik. Menggerogoti tanya yang berlarian dan memencar menegaskan janji yang ingkar. Kamu memang tahu semua sudah berbeda, tapi tidak denganku. Aku masih merasa tanganmu bisa kugenggam kemana pun aku dan kamu berjalan. Aku masih merasa setiap kerongkonganmu mengalirkan mantra-mantra kesetiaan. Ya, aku lupa, sudah tidak ada lagi sepiring menu cinta yang kau sajikan untuk kumakan.

Sore ini, tolong biarkan aku berkencan dengan ingatan. Untuk sekedar menyicipi hangatnya senja dan memutar tingkahmu yang manja. Meneguk takdir yang teramat pahit. Dan mengunyah harapan tentangmu yang tak tertelan. Begitu miris, sangat mudahnya kamu biarkan semangkuk cinta yang tulus terlambat disantap. Teramat mudahnya kamu biarkan dingin merayap hanya lewat lantunan maaf. Ya, begitu mudah kamu biarkan luka menyayat nadi yang mengalirkan namamu tanpa henti.




p.s.: sorry, lukaku belum sembuh.

Selasa, 10 Maret 2015

Sejumput Kesal

Sejumput kesal…
Kamu datang lagi setelah menghukumku dalam sedih
Setelah menamparku dengan ucapan, ‘maaf aku sudah tidak bisa lagi’
Setelah aku dipaksa menghirup asap dari hatiku yang terbakar perih

Sejumput kesal…
Kamu kira, aku sudah lupa caramu meninggalkanku dalam bisu?
Ketika kamu menyuruhku menghentikan candu rindu
Ketika hasrat memelukmu harus diubah jadi kerelaan melepasmu

Sejumput kesal…
Ketika aku patah, kamu justru merona seolah lupa seperti apa kita
Tertawa bak bayangan kita hanya rintihanku saja
Ya, aku yang duka dipaksa hampa

Sejumput kesal…
Biar kuberitahu, tidak ada cemburu yang bisa begitu saja mati
Tak ada juga dendam yang terpapas dengan pasti
Apalagi ketika mendambamu sudah kukubur rapi

Sejumput kesal…
Doa-doa kita sudah kubiaskan dengan lara
Kupisahkan satu-persatu sampai akhirnya aku bisa melupakannya
Hidupku sudah melantun penuh irama

Sejumput kesal…
Jangan suguhi aku haru tentang masa laluku denganmu
Jangan buat aku berkontemplasi untuk menerimamu
Ini aku yang baru! Sudah bahagia tanpamu

Sejumput kesal…
Simpan saja sesal dan juga rindu yang sedang kamu rasa
Bubuhkan dalam nadimu, bahwa aku sudah biasa saja
Camkan di hatimu, jangan lagi rindu aku, ya!

Sabtu, 07 Maret 2015

Biasanya Dia Tahu

Biasanya dia tahu, caranya membuat pagi cerah dan menjadikan harinya lebih baik. Bagaimana caranya menebar senyum. Pula seperti apa caranya tertawa lepas. Biasanya dia tahu bahwa kehadirannya membuat orang-orang tidak akan pernah berkata, ‘Pergi sana!’. Karena biasanya dia tahu, bahwa dia selalu punya cara tersendiri untuk membuat orang lain bahagia. Ya, biasanya dia tahu...sebelum dia tahu bagaimana ‘dia’ saat ini. Dia benci dirinya sendiri. Bukan kepada takdir.

Dia tidak pernah tahu bila ketakutannya akan menjadi nyata. Yang dia tahu saat ini, dia sudah tidak akan bisa lagi berdiri. Maka dia biarkan rambutnya dihempaskan angin, berjalan sendiri di tengah kenangan, dan di sanalah dia, mencoba memutar ulang sendiri memori manis dengan ‘dia’. Dalam lubuk hatinya, dia masih percaya, suatu hari nanti dia akan bertemu dengan seseorang yang bisa mengeluarkannya dari semua ini. Senyuman manisnya akan kembali membentang. Tawa lepasnya akan kembali terulang. Karena dia tahu, hidupnya tidak hanya untuk menangisi ‘dia’

Jumat, 06 Maret 2015

Kita, yang Mana?

Terkadang kita suka bertanya akan ‘seperti apa saya nanti?’ Bermaksud menerka kadar pengharapan dengan realita. Menimbang mana yang lebih laik untuk kita, dan mana yang tidak dengan standarisasi pribadi. Impian dan dampak terburuk dipaksakan untuk saling tawar-menawar. Lalu berharap hasil hantam keduanya tidak mengecewakan.

Indeed, dalam perjalanan antara ‘siapa diri kita sekarang?’ dengan ‘seperti apa saya nanti?’, setiap orang punya cara mengisinya sendiri-sendiri. Ada yang menangis dan memutuskan untuk menyerah karena tidak kuat menggapaiseperti apa saya nanti—nya yang sudah dicita-citakan sejak lama. Ada pula yang justru berusaha keras dan tidak mengalah pada lelah. Melakukan yang terbaik. Jika gagal, dia mencoba lagi dengan rencana yang lebih matang.

So, dalam perjalan tersebut, kita, yang mana? 

Kamis, 05 Maret 2015

Harmoni

Paradigma #1
Wanita, adalah makhluk Tuhan yang katanya diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Oleh sebab itu, sebagai ganti diambilnya tulang rusuk laki-laki, maka laki-laki menuntut wanita harus memberikan hidupnya kepada laki-laki ketika sudah menikah. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran orang-orang yang menganggap bahwasanya laki-laki sebagai kepala keluarga punya hak penuh atas keluarga. Apa yang laki-laki ingin, semua harus menuruti. Karena laki-laki lebih tahu apa yang keluarganya butuh.
Dalam beberapa kasus, suami-suami selalu naik pitam ketika sepulang kerja dan ternyata rumahnya masih berantakan. Lalu ketika sang istri menawarkan untuk makan malam, dia malah berkata enteng bahwa nafsu makannya tidak ada. Bahkan dalam beberapa keadaan, ada juga yang membandingkan masakan istrinya dengan masakan ibunya yang jauh lebih enak. ‘Dek, kamu ini masaknya kok ini-ini aja? Rasanya juga suka kurang garam. Enggak enak. Enggak kayak masakan Ibuku...’ Laki-laki menjelma bak raja.
‘…Tidakkah para suami sadar, jika ketika ia pulang sudah tidak ada lagi yang menyambut lelahnya dan menyiapkan makanan untuknya?’

Paradigma #2
Sebagian orang menganggap bahwa wanita tidak perlu memikirkan bagaimana karirnya, bagaimana pendidikannya, pun, bagaimana cita-citanya. Karena wanita, toh, nanti juga hanya akan tinggal di rumah dan mengurus urusan rumah tangga. Semua yang dikejar wanita sebelum menikah tidak akan berguna. Bahkan ada yang mengatakan ketika wanita independen, maka yang ada laki-laki akan minder. Nanti malah jadi perawan tua
Kita tidak bisa menjustifikasi sesuatu hanya karena akhirnya akan bagaimana. Kita juga tidak bisa mengeneralisasikan semua wanita akan berakhir dan atau mendapatkan hal yang sama. Sebenarnya, perempuan yang pintar, atau memiliki karir yang bagus, atau yang bercita-cita tinggi, adalah perempuan yang bernilai tinggi. Dia laik mendapat laki-laki yang memiliki kecerdasan yang tinggi, karir yang bagus, dan juga cita-cita yang agung. Jika dimatematikakan, mereka berdua justru akan menghasilkan perkalian. Maksudnya, ambil permisalan perempuan tersebut adalah 9, dan laki-laki tersebut juga 9. Maka mereka akan menjadi 9 x 9. Delapan puluh satu. Lebih solid. Berbeda halnya jika laki-laki cerdas, karir bagus, dan cita-cita tinggi, menikah dengan wanita biasa-biasa saja. Maka jika dimatematikakan, hasilnya malah akan menjadi pengurangan. Kenapa? Karena laki-laki tersebut harus mengisi kekurangan dari si wanita. Kalau dimisalkan dengan permisalan yang sama, hasilnya akan menjadi 9 - 9. Nol. Mereka habis.
Pemikiran-pemikiran primitif seperti dua hal ini justru cenderung merendahkan wanita. Kodrat wanita seolah menjadi pelayan. Padahal, dalam pernikahan, laki-laki dan juga perempuan adalah tim. Mereka bekerja sama. Bukan siapa menggurui siapa. Atau siapa mendominasi siapa. Siapa memimpin siapa. Dan bukan pula siapa yang berhak atas apa atau siapa.
Intinya, sadar diri. Dua kata sederhana, yang bisa dibilang paling ampuh untuk menyelesaikan semuanya. But sometimes, laki-laki terlalu egois untuk bisa sadar diri. Mereka menganggap sadar diri adalah bentuk laki-laki mengakui kelemahannya. Sadar diri dipersepsikan sama dengan rendah diri. Begitu juga wanita, kadang wanita juga merasa emansipasi adalah bentuk perlawanan wanita. Sehingga sadar diri justru dianggap sebagai wujud bahwa wanita masih lemah jika dibanding laki-laki. 
I can’t ask for a better you. You, however, deserve a better me.*
* dikutip dari buku Adhitya Mulya, Sabtu Bersama Bapak.
Ketika kita sudah bisa sadar diri, secara tidak langsung itu menghasilkan keadaan dimana kita akan memperbaiki diri kita sebaik mungkin, dan malah akan terus bertanya-tanya, sudah pantaskah saya? Dengan demikian, kita akan selalu berusaha keras untuk menjadi orang yang laik, —termasuk menjadi pendamping yang laik. Tidak penting apa yang kita terima, yang terpenting, kita memberi yang terbaik. Di dalam pemberian yang baik, selalu ada balasan yang baik juga.
Maka dari itu, jangan ada lagi laki-laki merendahkan wanita. Atau wanita harus merasa laki-laki tidak boleh merendahkan wanita. Seharusnya, mereka bisa sadar diri. Bagaimana laki-laki yang laik, pun bagaimana wanita yang laik. Seperti apa perlakuan untuk orang lain yang laik. Dan juga, harusnya bagaimana harmoni yang laik.


p.s.: tulisan ini tidak bermaksud untuk menentang pemikiran konservatif, tapi hanya sekedar memberikan alternatif pemikiran.

Rabu, 04 Maret 2015

Atput

Tak Hanya untuk Malam Ini

Terkadang pelangi terlihat seperti bersedih
Terkadang matahari pun ingin berhenti
Sambut saja waktu yang telah Dia beri untukmu kali ini
Bukankah sendiri terasa lebih, sungguh berarti

Ketika waktu berganti dan kau mulai siap tuk menjalani
Sambutlah hangatnya hamparan pagi kali ini
Laksana bunga mawar yang merekahkan dirinya di balik jemari
Dan biarkan aku menyambutmu dengan bernyanyi

Izinkan aku bersamamu tak hanya untuk malam ini
Izinkan aku milikimu tak hanya untuk malam ini
Izinkan aku untuk begini tak hanya untuk malam ini
Izinkan…tak hanya untuk malam ini

Coba kau lihat ke dalam mataku
Apa kau lihat ini bukan diriku
Coba lagi kau lihat ke dalam mataku
Sungguh aku bertanya ini padamu

***

Well, sebenarnya Tak Hanya untuk Malam Ini adalah lagu berirama agakjazzy yang sengaja saya buat untuk seseorang. Seperti kebanyakan lagu jazz lainnya, kuncinya pasti akan kebanyakan minor, begitu juga dengan lagu ini. Lagu inientah kenapa—sangat mendesak saya untuk diposting di sini. Mungkin karena iramanya yang spesial, atau ini untuk orang yang spesial.

Iramanya spesial karena memang saya tidak pernah membuat lagu berirama seperti ini. Ini hal baru untuk saya. Lalu, untuk kespesialan orang yang saya tujukan lagu ini, itu karena dia orang pertama yang saya ajak kenalan. Seumur-umur, bahkan ketika baru pertama masuk sekolah atau kuliah, saya sama sekali tidak pernah mengajak orang lain berkenalan secara konvensional. Bilang ‘hai!’ lalu menyodorkan tangan dan berkata ‘saya anu—menyebutkan nama.’ Saya cenderung tipe orang yang lebih suka nimbrung untuk kenal dengan orang lain. Mendekatkan diri tanpa perlu tahu nama saya siapa, dan nama dia siapa. Berbeda kasusnya ketika dengan wanita ini. Dia berhasil membuat saya berkenalan secara konvensional.

Kembali ke lagu, bisa saya bilang bahwa per-bait dalam lagu ini menceritakan perjalanan yang terjadi antara saya dengan dia—orang yang saya ajak berkenalan secara konvensional. Bait pertama, ini bercerita tentang ketika saya dan dia beberapa hari setelah berkenalan. Pada masa itu, dia bercerita kalau dia sedang sangat bersedih karena ditinggalkan kekasihnya. Sebagai teman, tentu saya memintanya untuk tidak terlalu bersedih, tapi nikmati saja keadaan yang Tuhan kasih saat ini. Pada bait kedua, menceritakan pada waktu ketika dia bersedih, dia selalu meminta waktu untuk sendiri dulu, jadi, mau tidak mau saya mengiyakan permintaannya, oleh karena itu saya berjanji padanya jika nanti dia sudah siap untuk bangkit saya akan membawa dia ke suatu tempat yang menyenangkan di luar kota agar dia tidak bersedih lagi. Tempat yang pernah hendak saya kunjungi dengan seseorang di masa lalu saya.  Di bait ketiga dan keempat, adalah bagian paling private yang saya tuangkan. Saya tidak akan menceritakannya.



p.s.: sampai ketemu 12 hari lagi… 

Senin, 02 Maret 2015

Untuk Laki-Laki Kepala Dua

Sebagai seorang laki-laki, kita punya banyak tanggung jawab yang mesti diemban. Jika seorang laki-laki sudah menginjak kepala dua, dia sudah harus memiliki jiwa laki-lakinya. Kenapa? Karena laki-lakilah yang menentukan akan seperti apa dia, istri, anak-anak, dan keturunan-keturunannya. Dia yang memikul tanggung jawab kualitas hidup mereka.

Memang, fase kepala dua masih dibayangi oleh fase denial, anger, dan juga bargaining. Ketiganya wajar hadir di masa peralihan seperti umur dua-puluhan. Karena setiap mereka yang sudah memasuki kepala dua pasti akan menyangkal bahwa dirinya masih kekanak-kanakan, namun tidak dipungkiri kemarahan-kemarahan ‘sepele’ mereka justru mematahkan sangkalannya sendiri. Dengan demikian, maka tidak heran akan terjadi tawar-menawar sikap antara dia dan batinnya sendiri yang nantinyasebenarnyamenuntun dia secara perlahan ke kepribadian yang lebih dewasa.

Ketika laki-laki sudah berada pada umur dua-puluhan, dan merasakan siap menikah, dia seharusnya sudah mengetahui bahwa laki-laki itu...bukan seorang pemimpin, tapi harus berjiwa pemimpin. Dia harus menjadi perencana yang baik. Dia harus punya rencana untuk istri dan keturunan-keturunannya ketika dia ada, dan juga ketika dia sudah tidak ada. Tentu, tidak ada satu laki-laki pun yang ingin keluarganya menderita karena ketidakmampuannya menghidupi, melindungi, mengayomi, dan menafkahi. Dan tidak ada satu laki-laki pun juga yang ingin keluarganya menjadi beban orang lain ketika suatu saat nanti ia dipindahkan Tuhan ke alam yang lain.

Oleh karena itu, laki-laki berkepala dua yang merasa siap menikah sudah harus memikirkan bagaimana dia mengayomi, melindungi, menafkahi dan menghidupi keluarganya nanti. Wujudnya, adalah memiliki rumah; tidak perlu mewah, tidak perlu megah, ngontrak pun jadi, yang penting ada tempat untuk pulang dan berlindung dari panas dan hujan. Selain itu, tentu, penghasilan yang mencukupi kebutuhan keluarga. Tidak perlu yang memanjakan, yang penting cukup menghidupi anak dan istri.

Itulah kenapa setiap orang tua wanita selalu menanyakan ‘sudah punya apa?’ dan ‘sudah kerja? Kerjanya apa?’ ketika seorang laki-laki memutuskan untuk menjalin hubungan yang serius dengan anaknya. Matrealistis? Tidak. Itu wajar. Karena pertanyaan itu hadir karena pengalaman beliau. Beliau memberikan pertanyaan tersebut karena untuk memberikan dia gambaran dan juga untuk mengetahui seperti apa planning si calon menantunya, sebagai wujud keseriusan dengan anaknya. Tidak ada orang tua yang rela anaknya dilepas untuk hidup menderita.

Memang, pada tahap ini kadang seorang laki-laki selalu egois, mereka menganggap bahwa seharusnya jika laki-laki dan perempuan sudah saling cinta dan mengikatnya dalam pernikahan, hidup melarat pun istri seharusnya bisa terima, hal ini semata-mata untuk menjadi pelajaran mereka untuk tidak boros dan semangat bahu-membahu menghidupi keluarga. Bos, itu egois namanya. Laki-laki yang punya tanggung jawab terhadap istri pasti tidak tega mengajak istrinya melarat. Ingat, laki-laki harus berjiwa pemimpin. Bukan berjiwa pengecut yang orang lain harus menerima dia apa adanya. So, rencanakan segala sesuatunya sebelum menikah. Pemimpin yang baik, adalah pemimpin yang memiliki rencana dua langkah lebih maju dibandingkan orang yang dipimpinnya. Itulah kenapa dia disebut pemimpin.

Susun rencana secara matang, jika semua sudah siap, baru menikahlah. Persiapan yang baik, akan menghasilkan yang baik pula. Planning is everything. Jangan gegabah. Ini yang sering terjadi pada laki-laki kepala dua. Memutuskan tanpa berpikir, dan menganggap apa yang dia anggap benar adalah benar.

Jika memang belum siap, ya, tidak masalah. Perbaikidirilah dulu. Rencanakan sematang mungkin semuanya. Siapkan lahir dan batinya.




‘...Tulisan ini ditujukan untuk mereka; laki-laki yang berhasrat menikah muda, dan laki-laki tua yang masih sendiri...’





p.s.: untuk yang ingin menikah muda, jangan menikah jika belum siap semua hal ketika kamu masih ada dan ketika kamu nanti sudah tidak ada.

p.s.s.: untuk lelaki tua yang masih jomblo, tenang, saya tahu kalian sedang membangun pondasi. Maka bangunlah sekekar mungkin pondasi keluargamu. Tapi ingat, nikahlah! Mau sampai kapan sendiri? Inget umur. Malu sama kucing. Meong meong meong. Hahahaha