Paradigma
#1
Wanita, adalah makhluk Tuhan
yang katanya diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Oleh
sebab itu, sebagai ganti diambilnya tulang rusuk laki-laki, maka laki-laki
menuntut wanita harus memberikan hidupnya kepada laki-laki ketika sudah
menikah. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran orang-orang yang menganggap
bahwasanya laki-laki sebagai kepala keluarga punya hak penuh atas keluarga. Apa
yang laki-laki ingin, semua harus menuruti. Karena laki-laki lebih tahu apa
yang keluarganya butuh.
Dalam beberapa kasus, suami-suami
selalu naik pitam ketika sepulang kerja dan ternyata rumahnya masih berantakan.
Lalu ketika sang istri menawarkan untuk makan malam, dia malah berkata enteng bahwa
nafsu makannya tidak ada. Bahkan dalam beberapa keadaan, ada juga yang
membandingkan masakan istrinya dengan masakan ibunya yang jauh lebih enak.
‘Dek, kamu ini masaknya kok ini-ini aja? Rasanya juga suka kurang garam. Enggak
enak. Enggak kayak masakan Ibuku...’ Laki-laki menjelma bak raja.
‘…Tidakkah
para suami sadar, jika ketika ia pulang sudah tidak ada lagi yang menyambut
lelahnya dan menyiapkan makanan untuknya?’
Paradigma
#2
Sebagian orang menganggap bahwa
wanita tidak perlu memikirkan bagaimana karirnya, bagaimana pendidikannya, pun,
bagaimana cita-citanya. Karena wanita, toh, nanti juga hanya akan tinggal di rumah
dan mengurus urusan rumah tangga. Semua yang dikejar wanita sebelum menikah
tidak akan berguna. Bahkan ada yang mengatakan ketika wanita independen, maka
yang ada laki-laki akan minder. Nanti malah jadi perawan tua.
Kita tidak bisa menjustifikasi sesuatu
hanya karena akhirnya akan bagaimana. Kita juga tidak bisa mengeneralisasikan
semua wanita akan berakhir dan atau mendapatkan hal yang sama. Sebenarnya,
perempuan yang pintar, atau memiliki karir yang bagus, atau yang bercita-cita
tinggi, adalah perempuan yang bernilai tinggi. Dia laik mendapat laki-laki yang
memiliki kecerdasan yang tinggi, karir yang bagus, dan juga cita-cita yang
agung. Jika dimatematikakan, mereka berdua justru akan menghasilkan perkalian.
Maksudnya, ambil permisalan perempuan tersebut adalah 9, dan laki-laki tersebut
juga 9. Maka mereka akan menjadi 9 x 9. Delapan puluh satu. Lebih
solid. Berbeda halnya jika laki-laki cerdas, karir bagus, dan cita-cita
tinggi, menikah dengan wanita biasa-biasa saja. Maka jika dimatematikakan, hasilnya
malah akan menjadi pengurangan. Kenapa? Karena laki-laki tersebut
harus mengisi kekurangan dari si wanita. Kalau dimisalkan dengan permisalan
yang sama, hasilnya akan menjadi 9 - 9. Nol. Mereka habis.
Pemikiran-pemikiran primitif
seperti dua hal ini justru cenderung merendahkan wanita. Kodrat wanita seolah
menjadi pelayan. Padahal, dalam pernikahan, laki-laki dan juga perempuan adalah
tim. Mereka bekerja sama. Bukan siapa menggurui siapa. Atau siapa mendominasi
siapa. Siapa memimpin siapa. Dan bukan pula siapa yang berhak atas apa atau
siapa.
Intinya, sadar diri.
Dua kata sederhana, yang bisa dibilang paling ampuh untuk menyelesaikan
semuanya. But sometimes, laki-laki terlalu egois untuk bisa sadar
diri. Mereka menganggap sadar diri adalah bentuk laki-laki mengakui
kelemahannya. Sadar diri dipersepsikan sama dengan rendah
diri. Begitu juga wanita, kadang wanita juga merasa emansipasi adalah
bentuk perlawanan wanita. Sehingga sadar diri justru dianggap
sebagai wujud bahwa wanita masih lemah jika dibanding laki-laki.
I can’t ask for a better you.
You, however, deserve a better me.*
* dikutip dari buku Adhitya
Mulya, Sabtu Bersama Bapak.
Ketika kita sudah bisa sadar
diri, secara tidak langsung itu menghasilkan keadaan dimana kita akan
memperbaiki diri kita sebaik mungkin, dan malah akan terus bertanya-tanya,
sudah pantaskah saya? Dengan demikian, kita akan selalu berusaha keras untuk
menjadi orang yang laik, —termasuk menjadi pendamping yang laik.
Tidak penting apa yang kita terima, yang terpenting, kita memberi yang terbaik.
Di dalam pemberian yang baik, selalu ada balasan yang baik juga.
Maka dari itu, jangan ada lagi
laki-laki merendahkan wanita. Atau wanita harus merasa laki-laki tidak boleh
merendahkan wanita. Seharusnya, mereka bisa sadar diri. Bagaimana laki-laki
yang laik, pun bagaimana wanita yang laik. Seperti apa perlakuan untuk orang
lain yang laik. Dan juga, harusnya bagaimana harmoni yang laik.
p.s.: tulisan ini tidak bermaksud untuk
menentang pemikiran konservatif, tapi hanya sekedar memberikan alternatif
pemikiran.