Kamis, 05 Maret 2015

Harmoni

Paradigma #1
Wanita, adalah makhluk Tuhan yang katanya diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Oleh sebab itu, sebagai ganti diambilnya tulang rusuk laki-laki, maka laki-laki menuntut wanita harus memberikan hidupnya kepada laki-laki ketika sudah menikah. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran orang-orang yang menganggap bahwasanya laki-laki sebagai kepala keluarga punya hak penuh atas keluarga. Apa yang laki-laki ingin, semua harus menuruti. Karena laki-laki lebih tahu apa yang keluarganya butuh.
Dalam beberapa kasus, suami-suami selalu naik pitam ketika sepulang kerja dan ternyata rumahnya masih berantakan. Lalu ketika sang istri menawarkan untuk makan malam, dia malah berkata enteng bahwa nafsu makannya tidak ada. Bahkan dalam beberapa keadaan, ada juga yang membandingkan masakan istrinya dengan masakan ibunya yang jauh lebih enak. ‘Dek, kamu ini masaknya kok ini-ini aja? Rasanya juga suka kurang garam. Enggak enak. Enggak kayak masakan Ibuku...’ Laki-laki menjelma bak raja.
‘…Tidakkah para suami sadar, jika ketika ia pulang sudah tidak ada lagi yang menyambut lelahnya dan menyiapkan makanan untuknya?’

Paradigma #2
Sebagian orang menganggap bahwa wanita tidak perlu memikirkan bagaimana karirnya, bagaimana pendidikannya, pun, bagaimana cita-citanya. Karena wanita, toh, nanti juga hanya akan tinggal di rumah dan mengurus urusan rumah tangga. Semua yang dikejar wanita sebelum menikah tidak akan berguna. Bahkan ada yang mengatakan ketika wanita independen, maka yang ada laki-laki akan minder. Nanti malah jadi perawan tua
Kita tidak bisa menjustifikasi sesuatu hanya karena akhirnya akan bagaimana. Kita juga tidak bisa mengeneralisasikan semua wanita akan berakhir dan atau mendapatkan hal yang sama. Sebenarnya, perempuan yang pintar, atau memiliki karir yang bagus, atau yang bercita-cita tinggi, adalah perempuan yang bernilai tinggi. Dia laik mendapat laki-laki yang memiliki kecerdasan yang tinggi, karir yang bagus, dan juga cita-cita yang agung. Jika dimatematikakan, mereka berdua justru akan menghasilkan perkalian. Maksudnya, ambil permisalan perempuan tersebut adalah 9, dan laki-laki tersebut juga 9. Maka mereka akan menjadi 9 x 9. Delapan puluh satu. Lebih solid. Berbeda halnya jika laki-laki cerdas, karir bagus, dan cita-cita tinggi, menikah dengan wanita biasa-biasa saja. Maka jika dimatematikakan, hasilnya malah akan menjadi pengurangan. Kenapa? Karena laki-laki tersebut harus mengisi kekurangan dari si wanita. Kalau dimisalkan dengan permisalan yang sama, hasilnya akan menjadi 9 - 9. Nol. Mereka habis.
Pemikiran-pemikiran primitif seperti dua hal ini justru cenderung merendahkan wanita. Kodrat wanita seolah menjadi pelayan. Padahal, dalam pernikahan, laki-laki dan juga perempuan adalah tim. Mereka bekerja sama. Bukan siapa menggurui siapa. Atau siapa mendominasi siapa. Siapa memimpin siapa. Dan bukan pula siapa yang berhak atas apa atau siapa.
Intinya, sadar diri. Dua kata sederhana, yang bisa dibilang paling ampuh untuk menyelesaikan semuanya. But sometimes, laki-laki terlalu egois untuk bisa sadar diri. Mereka menganggap sadar diri adalah bentuk laki-laki mengakui kelemahannya. Sadar diri dipersepsikan sama dengan rendah diri. Begitu juga wanita, kadang wanita juga merasa emansipasi adalah bentuk perlawanan wanita. Sehingga sadar diri justru dianggap sebagai wujud bahwa wanita masih lemah jika dibanding laki-laki. 
I can’t ask for a better you. You, however, deserve a better me.*
* dikutip dari buku Adhitya Mulya, Sabtu Bersama Bapak.
Ketika kita sudah bisa sadar diri, secara tidak langsung itu menghasilkan keadaan dimana kita akan memperbaiki diri kita sebaik mungkin, dan malah akan terus bertanya-tanya, sudah pantaskah saya? Dengan demikian, kita akan selalu berusaha keras untuk menjadi orang yang laik, —termasuk menjadi pendamping yang laik. Tidak penting apa yang kita terima, yang terpenting, kita memberi yang terbaik. Di dalam pemberian yang baik, selalu ada balasan yang baik juga.
Maka dari itu, jangan ada lagi laki-laki merendahkan wanita. Atau wanita harus merasa laki-laki tidak boleh merendahkan wanita. Seharusnya, mereka bisa sadar diri. Bagaimana laki-laki yang laik, pun bagaimana wanita yang laik. Seperti apa perlakuan untuk orang lain yang laik. Dan juga, harusnya bagaimana harmoni yang laik.


p.s.: tulisan ini tidak bermaksud untuk menentang pemikiran konservatif, tapi hanya sekedar memberikan alternatif pemikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar